Jumat, 28 Mei 2010

Jaring-Jaring Kualitas

Sengatan matahari kian menggigit. Rasa dahaga sangat mencekik kerongkongan, hingga satu persatu dari tentara Thalut mulai kehilangan kepercayaan diri. Medan perang belum lagi tampak, tetapi rintangan yang menghadang sangatlah berat dirasakan. Mereka tidak menyangka kalau kesanggupan mereka untuk mengikuti perintah sang pemimpin demikian berat konsekuensinya. Keletihan tampak di wajah mereka yang berdebu, dengan mulut memutih, pecah-pecah dan sangat kering. Tidak ada kata lain, hanya...air

Pasukan pembawa panji iman yang awalnya bersemangat mulai kendor nyalinya manakala merasakan beratnya medan yang mereka lalui. Padang pasir yang gersang, panas matahari yang membakar, kurangnya perbekalan mereka terutama air sebagai pemutus dahaga, membuat mereka semakin bertindak dungu. Mereka mulai menggerutu dan menyesali keputusan mereka sendiri untuk turut serta berperang. Itulah ujian yang kesekian kalinya gagal mereka lakukan.

Ketika Thalut dan pasukannya melewati sebuah sungai, keinginan mereka untuk minum airnya sungguh tak tertahankan. Larangan dari sang pemimpin mereka agar menahan diri dan tidak berlebihan meminum air sungai tersebut kecuali secukupnya saja, tidak mereka indahkan. Rupanya sengatan panas matahari telah membuat sangat serakah tatkala melihat air. Mereka minum sepuas-puasnya. Yang minum lebih banyak dari yang tidak atau dari yang sekedar minum secebokan tangan.

Ujian itu makin mengerucutkan jumlah yang telah sedikit itu menjadi lebih sedikit lagi. Mereka yang tidak meminum air sungai kecuali secukupnya saja itulah yang dizinkan ikut berperang. Sedangkan mereka yang minum secara berlebihan dianggap tidak layak meneruskan ekspedisi suci ini. Karena pelanggaran terhadap perintah pemimpin adalah sebuah kesalahan fatal yang tidak boleh terjadi, apalagi dalam kondisi genting seperti perang. Kini, jumlah itu menyusut dengan jumlah yang semakin ramping.

Ujian dan seleksi masih belum selesai, tatkala melihat realita di medan perang tak seperti yang mereka bayangkan. Ternyata jumlah musuh sangatlah besar dengan persenjataan lebih lengkap. Ciut sudah nyali mereka. Mereka seakan-akan melihat maut akan menyongsong mereka hari itu. Sebagian dari mereka berkata : “ Tiadalah kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya”. Mental mereka keburu jatuh sebelum berperang. Padahal Allah telah menjanjikan kemenangan untuk mereka bila mereka taat kepada Allah dan Nabi-Nya.

Ujian demi ujian datang silih berganti, menguji komitmen dan ketaatan mereka terhadap kebenaran. Ujian ibarat saringan, yang akan menyaring kualitas setiap orang yang melewatinya. Dan ternyata benar, sampai bertemunya dua pasukan, jumlah tentara Thalut tinggal sedikit. Sisa yang sedikit itulah yang benar-benar lulus dalam ujian ksatriaan. Mereka itulah yang benar-benar siap bertempur, yang selanjutnya terhimpun menjadi satu kekuatan kecil dengan kualitas yang setara dengan pasukan besar.

Kelompok itu adalah kelompok orang-orang yang beriman. Mereka senantiasa bersabar dalam berjuang dan selalu tabah dalam menghadapi tekanan, godaan dan pengaruh-pengaruh negatif dari teman maupun lawan. Mereka adalah kelompok yang tidak membangkang perintah pemimpin mereka, karena mereka sangat memahami urgensi ketaatan. Mereka percaya kemenangan bukanlah masalah jumlah, tapi bobot. Sedemikian tsiqohnya mereka, sehingga ketika yang lain mulai luluh, mereka justru semakin teguh. Dengan tegarnya berucap : “ berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang besar bila Allah mengizinkan.”

Diriwayatkan dari as-Sudi, jumlah tentara Thalut kala itu kurang lebih mencapai 80.000 pasukan. Namun setelah melewati sungai, jumlah itu berkurang menjadi tidak lebih dari 310 prajurit saja. Sedangkan menurut Bukhari dari riwayat Bara’ bin Azib radhiyallahu anhu, pasukan itu sekitar 317-an saja.

********

Menang dan kalah bukanlah masalah kuantitas atau fasilitas, tapi kualitas. Satu orang yang berkualitas dapat saja melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sepuluh orang. Bahkan ada seseorang yang keberadaannya menyamai kualitas seratus orang, bahkan seribu orang, bahkan lebih. Efesiensi yang dipadankan dengan kualitas menghasilkan sebuah hasil yang maksimal dengan modal yang minimal.

Perjuangan Islam pada mulanya adalah perjuangan yang sangat berat, penuh onak dan duri, cobaan dan rintangan. Dakwah yang dilakukan Nabi pada periode Mekkah hanya sanggup menggaet orang dalam jumlah yang terbilang kecil. Pertama-tama Isteri beliau, Khadijah, kemudian shahabat karib beliau, Abu Bakar dan anak paman beliau, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu berturut-turut Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam dan Bilal bin Rabah.

Jumlah yang sedikit itu bukanlah kacang kulit tanpa isi. Kualitas mereka benar-benar diatas rata-rata. Ujian dan cobaan yang mereka terima tidak menjadikan mereka kendor, malah semakin membuat mereka teguh memegang Islam. Ibarat paku yang terus menerus dihantam palu godam, akan semakin kuat menancap. Mereka mempertaruhkan semua yang mereka miliki, harta benda, jiwa dan raga mereka. Ada yang dipakaikan kepadanya baju besi dan kemudian dilemparkan ke padang pasir yang membara. Ada yang dihimpit batu besar di bawah terik matahari diatas hamparan pasir Mekkah. Dan masih ada yang lebih keras dari itu. Kekerasan fisik adalah harga yang harus mereka tebus begitu kalimat tauhid “ la ilaha illa allah Muhammad rasulullah” mereka ucapkan.

Ketika perintah hijrah turun, tidak ada pertanyaan : bagaimana harta benda saya? Bagaimana ladang dan kebun saya? Bagaimana nanti hidup saya? Yang ada hanyalah ucapan “ sam’an wa tho’atan”, kami mendengar dan kami ta’at. Keberkahan hidup ada pada keta’an pada Allah dan Rasul-Nya. Begitulah keyakinan mereka.

Satu hal lagi yang menambah militansi dan soliditas mereka, yaitu mereka sama sekali tidak pernah diming-imingi harta dan kekuasaan atau kenikmatan dunia lainnya. Dorongan untuk memeluk Islam dan memperjuangkannya adalah murni karena panggilan keimanan dan mencari ridha Allah. Karenanya, mereka sangat solid, militan dan berwibawa. Berbagai macam dorongan nafsu dan syahwat dunia tidak dapat menggoyahkan keimanan di hati mereka, karena dunia sudah begitu tunduk ditangan-tangan mereka, sedang akhirat senantiasa bersemayam di hati-hati mereka.

Jalan dakwah bukanlah jalan tanpa hambatan. Ia sarat onak dan duri, aral yang melintang dan cobaan yang menghadang. Mereka yang memilih jalan dakwah adalah mereka yang memilih bersinggungan dengan resiko dan fitnah dunia. Komitmen untuk eksis bukanlah ucapan tanpa konsekuensi. Ada harga yang harus ditebus. Bukan saja kehilangan harta benda dan keluarga, bahkan jiwa dan raga. Dan para shahabat telah lulus dari itu semua. Mereka tahu, pengorbanan mereka di jalan dakwah tak akan hilang sia-sia.

Pengusung panji-panji Islam yang menempati garda depan bukanlah jumlah yang mayoritas, melainkan minoritas. Karena kualitas unggulan itu biasanya hanya ada pada segelintir orang saja, bukan pada kebanyakan orang. Dan semua orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi bagian dari sekelompok kecil tersebut. Masalahnya sekarang ada pada tekad dan kemauan. Allah mengisyaratkan kecilnya golongan itu diantara jumlah yang mayoritas, dalam surat Ali Imran ayat : 104 :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran ayat : 104).

Kisah Thalut dan Bani Israel diatas adalah pelajaran untuk umat ini agar mereka sadar bahwa faktor kemenangan bukan melulu pada urusan bilangan dan hitung-hitungan. Dibalik itu semua ada faktor non-teknis yang juga sangat berpengaruh, yaitu faktor ketuhanan. Usaha untuk tetap berada dalam koridor ketaatan amatlah urgen dalam pencapaian sebuah kemenangan. Kisah ini diturunkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar para shahabat khususnya dan umat islam pada umumnya mampu mengambil pelajaran bahwa mendiskusikan dan menawar-nawar kembali titah Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah kesalahan fatal yang tidak seyogyanya dilakukan oleh seorang hamba.*

Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Suara Langit


Dan Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah, Ber amal sholeh, seraya berkata ' Sesunguhnya aku termasuk kaum Muslimin ( yang berserah diri kepada Allah ) Tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba - tiba orang yang diantara kamu dan dia ada permusuhan seolah - olah telah menjadi teman setia
( QS . Fushshilat : 33 - 34 )
" Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dipertanggungjawabkan" ( QS. Al - Isra : 36 )
" Dan Sesungguhnya telah kami mudahkan Al - Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?" ( QS. Al - Qamar : 17, 22, 32, 40 ).
' Maka Ni' mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ? (QS. Ar- Rahman : 13,16,18,21,23,25,..)


" Wahai ali, Sungguh, Sekirannya Allah memberi hidayah seseorang karena dakwahmu, itu lebih baik bagimu dari pada unta merah ( HR. Bukhari dan Muslim ).
" Barang siapa menyembunyikan ilmu, maka pada hari kiamat nanti Allah SWT akan membelenggunya dengan belenggu dari api neraka ( HR. Abu Dawud dan At - Tirmidzi ).
"Sesungguhnya yan paling aku takutkan terhadap kalian sepeninggalku adalah jika bunga- bunga dunia dan hiasannya di bukakan buat kalian ( HR. AL- Bukhari dan Muslim ).
" Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kaliann tetapi aku takut jika dunia telah dibentangkan di hadapan kalian sebagaimana di bentangkan di hadapan umat - umat sebelum kalian, lalu kalian saling berebut sebagaimana mereka dahulu saling berebut, lalu kalian binasa sebagaimana mereka dahulu binasa. " ( HR. Al- Bukhari dan Muslim ).


Von Kremer, Sebagai mana di kutip oleh Thomas W. Arnold, menulis dengan penuh decak kekaguman.

"Adalah menjadi keinginan Muhammad membangun suatu agama baru, dan ia telah mencapai hasil gemilang, tetapi pada waktu yang bersamaan dia membangun pula sistem politik yang sama sekali bercorak baru. Bahkan sebelum wafatnya, hampir seluruh arabia telah takluk di bawah pengaruhnya.Arabia yang sebelumnya belum pernah tunduk pada seorang pemimpin, tiba - tiba membentuk suatu ikatan politik dan setia pada perintah pemimpin yang absolut, dari kabilah - kabilah yang banyak, besar dan kecil, saling bermusuhan , dibawah Muhammad menjelma menjadi suatu bangsa.
Idea tentang kesatuan agama umum di bawah satu pimpinan telah menghimpun berbagai kabilah ke dalam satu organisasi politik yang memperkembangkan wataknya yang khas dalam tempo yang sesingkat - singkatnya.

Generasi penerus Muhammad telah berhasil menambah deretan prestasi ekspansi ke kalangan bangsa - bangsa asia barat yang semula kristen, ke kalangan bangsa afrika dan spanyol yang semula juga beragama kristen. Dan demikian pula, akhirnya Islam menyebar di Persia, Asia tengah, Mongol, India, China, bahkan pada gilirannya di malasyia dan Indonesia. Saat ini Islam telah merambah ke segenap penjuru dunia." ( Von Kremer )
Selengkapnya...