Selasa, 24 November 2009

Tazkiyatun Nufus

Menggapai Kemuliaan Akhlaq

masjid dan doa
dakwatanua.com - Akhlaq menurut ahli ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi, Allah swt.

I. Definisi Akhlaq

Beberapa definisi akhlaq antara lain adalah :

1. Menurut Ibnu Abbas Ra ketika menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’alaa dalam surat Al Qolam ayat 4 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung”, akhlaq yang agung tersebut adalah dien yang agung (Islam).

Demikian pula pendapat Mujahid, Abu Malik, As Suddi, Rabi bin Anas, Ad Dhahak, dan Ibnu Zaid. Didalam Shohih Muslim, Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlaq Nabi Saw, lalu beliau menjawab bahwa akhlaq Beliau Saw adalah Al Quran, karena segala perintah yang terdapat didalam Al Quran beliau laksanakan dan segala larangan yang terdapat didalamnya beliau tinggalkan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlaq yang agung dimana Nabi disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Alloh Ta’alaa dan larangan-Nya, sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Alloh dan di ridloi-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada” (Makarimul Akhlaq/23) .

2. Ibnul Atsir menyebutkan dalam An Nihayah (2/70) tentang “al khuluqu” dan “al khulqu” yang berarti dien, tabiat dan sifat. Syaikh ‘Utsaimin menerangkan tentang hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya (Makarimul Akhlaq, hal 9).

3. Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan beberapa pendapat tentang definisi akhlaq didalam bukunya Madarijus Saalikin antara lain akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia”

4. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Mukhtashor Minhajul Qoshidiin bahwa akhlaq merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, jika perbuatan itu baik maka disebut akhlaq yang baik, dan jika buruk maka disebut akhlaq yang buruk.

II. Keutamaan akhlaq yang baik

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menyebutkan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia yaitu :

1. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab masuknya orang yang memiliki akhlaq yang mulia tersebut kedalam Jannah (surga)

Nabi Saw bersabda yang artinya “Saya adalah penjamin bagi orang yang meninggalkan mira (debat kusir) meskipun ia ada dipihak yang benar dengan mendapatkan rumah di jannah terendah dan bagi orang yang baik akhlaqnya akan mendapatkan rumah di jannah yang tertinggi” (hadits riwayat Abu Daud/4800, Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, dengan sanad yang hasan)

Hadits lainnya yaitu dari Abu Huroiroh Rodliyallohu ‘anhu bahwasannya Rosululloh Saw pernah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan banyak manusia yang masuk Jannah, maka beliau menjawab yang artinya “Takwa kepada Alloh dan akhlaq yang baik”, beliau ditanya pula tentang penyebab yang menjadikan banyak manusia masuk neraka, maka beliau menjawab “mulut dan kemaluan” (diriwayatkan Tirmidzi (2003), Ibnu Majah (4246), Ahmad (2/291, 392, 442), Ibnu Hibban (Mawarid, 1923), Al Baghowi (Ma’alim At Tanziil, 4/377 dan Syarhu As Sunnah 13/79-80, Al Khoroithi (Makarimul Akhlaq hal. 10), dan Bukhori (Al Adab Al Mufrod, 442). Sanad hadits ini hasan

2. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Hamba-hamba Alloh yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka” (hadits riwayat Thabrani (471) dan Hakim (4/399-401)

3. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai

Rosululloh Saw. Beliau Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat dengan majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” (hadits riwayat Tirmidzi (2018) dengan sanad yang hasan, dan memiliki penguat yang diriwayatkan Imam Ahmad (2/189) dengan sanad yang shohih, sehingga kesimpulannya hadits ini shohih lighoirihi)

4. Akhlaq yang mulia mendapatkan timbangan yang paling berat di hari kiamat.

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat adalah akhlaq yang baik” (hadits riwayat Abu Daud (4799), Ahmad (6/446-448), Ibnu Hibban (481) dan selain mereka)

5. Akhlaq yang mulia meninggikan derajat seseorang disisi Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya seseorang itu dengan sebab akhlaqnya yang baik, sungguh akan mencapai derajat orang yang sholat malam dan shaum di siang hari” (hadits shohih riwayat Abu Daud (4798), Hakim (1/60) dan selainnya). Beliau Saw juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya seorang muslim yang dibimbing lurus (oleh Alloh) benar-benar akan mencapai derajat ahli shaum dan ahli ibadah (sholat) yang selalu melantunkan ayat-ayat Alloh disebabkan karakternya yang mulia dan akhlaqnya yang baik” (hadits shohih riwayat Ahmad (2/17 dan 220)

6. Akhlaq yang mulia merupakan sebaik-baik amalan manusia

Rosululloh Saw bersabda yang artinya ” Wahai Abu Dzar, maukah aku tunjukkan kepadamu dua hal ; keduanya itu sangat ringan dipikul dan sangat berat dalam timbangan dibandingkan selain keduanya?” Abu Dzar menjawab, “Tentu wahai Rosululloh.”, beliau bersabda, “Engkau harus berakhlaq yang baik dan harus banyak diam, demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak ada amalan manusia yang menyamai keduanya.” (diriwatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam As Shamt (112 dan 554), Al Bazzar (Kasyful Atsar, 4/220) dan lain-lain. Hadits ini derajatnya hasan

7. Akhlaq yang mulia menambah umur

8. Akhlaq yang mulia menjadikan rumah makmur

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Akhlaq yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur” (hadits shohih riwayat Ahmad, 6/159)

Dari uraian tentang definisi dan keutamaan akhlaq diatas, semoga menjadikan kita dapat mengerti tentang akhlaq menurut ahli ‘ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ‘ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan tentang hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatingg, Yang ada di atas Arsy sana, Yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’alaa, Dialah Pencipta manusia, sehingga hanya Dialah yang Mahatahu tentang apa yang terbaik buat para hamba-Nya sehingga Dia memerintahkannya melalui KalamNya yang mulia yaitu Al Quran dan melalui lisan utusannya yang mulia yaitu Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam

Selengkapnya...

Kamis, 05 November 2009

DELAPAN TANDA ORANG IKHLAS


Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw.


Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.
Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak.” (Muslim).


Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)


Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.


Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw.
Seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’ adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’ adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”


Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.
Delapan Tanda Keikhlasan
Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:


1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.


2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis.
Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).


3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan.
Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?” Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, ‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)


4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit
Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.

5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia
Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.


6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah
Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)


7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan
Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, “Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku!”


8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan
Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.
Selengkapnya...

Allah mengujiku dengan empat nyawa

Namanya Khairiyah. Ibu dari tiga anak ini Allah uji dengan cobaan yang luar biasa. Setelah suaminya meninggal, satu per satu, anak-anak tercinta yang masih balita pun pergi untuk selamanya.
Hidup ini memang ujian. Seperti apa pun warna hidup yang Allah berikan kepada seorang hamba, tak luput dari yang namanya ujian. Bersabarkah sang hamba, atau menjadi kufur dan durhaka.
Dari sudut pandang teori, semua orang yang beriman mengakui itu. Sangat memahami bahwa susah dan senang itu sebagai ujian. Tapi, bagaimana jika ujian itu berwujud dalam kehidupan nyata. Mampukah?
Hal itulah yang pernah dialami Bu Khairiyah. Semua diawali pada tahun 1992.
Waktu itu, Allah mempertemukan jodoh Khairiyah dengan seorang pemuda yang belum ia kenal. Perjodohan itu berlangsung melalui sang kakak yang prihatin dengan adiknya yang belum juga menikah. Padahal usianya sudah nyaris tiga puluh tahun.
Bagi Khairiyah, pernikahan merupakan pintu ibadah yang di dalamnya begitu banyak amal ibadah yang bisa ia raih. Karena itulah, ia tidak mau mengawali pintu itu dengan sesuatu yang tidak diridhai Allah.
Ia sengaja memilih pinangan melalui sang kakak karena dengan cara belum mengenal calon itu bisa lebih menjaga keikhlasan untuk memasuki jenjang pernikahan. Dan berlangsunglah pernikahan yang tidak dihadiri ibu dan ayah Khairiyah. Karena, keduanya memang sudah lama dipanggil Allah ketika Khairiyah masih sangat belia.
Hari-hari berumah tangga pun dilalui Khairiyah dengan penuh bahagia. Walau sang suami hanya seorang sopir di sebuah perusahaan pariwisata, ia merasa cukup dengan yang ada.
Keberkahan di rumah tangga Khairiyah pun mulai tampak. Tanpa ada jeda lagi, Khairiyah langsung hamil. Ia dan sang suami pun begitu bahagia. "Nggak lama lagi, kita punya momongan, Bang!" ujarnya kepada sang suami.
Mulailah hari-hari ngidam yang merepotkan pasangan baru ini. Tapi buat Khairiyah, semuanya berlalu begitu menyenangkan.
Dan, yang ditunggu pun datang. Bayi pertama Bu Khairiyah lahir. Ada kebahagiaan, tapi ada juga kekhawatiran.
Mungkin, inilah kekhawatiran pertama untuk pasangan ini. Dari sinilah, ujian berat itu mulai bergulir.
Dokter menyatakan bahwa bayi pertama Bu Khairiyah prematur. Sang bayi lahir di usia kandungan enam bulan. Ia bernama Dina.
Walau dokter mengizinkan Dina pulang bersama ibunya, tapi harus terus berobat jalan. Dan tentu saja, urusan biaya menjadi tak terelakkan untuk seorang suami Bu Khairiyah yang hanya sopir.
Setidaknya, dua kali sepekan Bu Khairiyah dan suami mondar-mandir ke dokter untuk periksa Dina. Kadang karena kesibukan suami, Bu Khairiyah mengantar Dina sendirian.
Beberapa bulan kemudian, Allah memberikan kabar gembira kepada Bu Khairiyah. Ia hamil untuk anak yang kedua.
Bagi Bu Khairiyah, harapan akan hiburan dari anak kedua mulai berbunga. Biarlah anak pertama yang menjadi ujian, anak kedua akan menjadi pelipur lara. Begitulah kira-kira angan-angan Bu Khairiyah dan suami.
Dengan izin Allah, anak kedua Bu Khairiyah lahir dengan selamat. Bayi itu pun mempunyai nama Nisa. Lahir di saat sang kakak baru berusia satu tahun. Dan lahir, saat sang kakak masih tetap tergolek layaknya pasien berpenyakit dalam. Tidak bisa bicara dan merespon. Bahkan, merangkak dan duduk pun belum mampu. Suatu ketidaklaziman untuk usia bayi satu tahun.
Beberapa minggu berlalu setelah letih dan repotnya Bu Khairiyah menghadapi kelahiran. Allah memberikan tambahan ujian kedua buat Bu Khairiyah dan suami. Anak keduanya, Nisa, mengalami penyakit aneh yang belum terdeteksi ilmu kedokteran. Sering panas dan kejang, kemudian normal seperti tidak terjadi apa-apa. Begitu seterusnya.
Hingga di usia enam bulan pun, Nisa belum menunjukkan perkembangan normal layaknya seorang bayi. Ia mirip kakaknya yang tetap saja tergolek di pembaringan. Jadilah Bu Khairiyah dan suami kembali mondar-mandir ke dokter dengan dua anak sekaligus.
Di usia enam bulan Nisa, Allah memberikan kabar gembira untuk yang ketiga kalinya buat Bu Khairiyah dan suami. Ternyata, Bu Khairiyah hamil.
Belum lagi anak keduanya genap satu tahun, anak ketiga Bu Khairiyah lahir. Saat itu, harapan kedatangan sang pelipur lara kembali muncul. Dan anak ketiganya itu bayi laki-laki. Namanya, Fahri.
Mulailah hari-hari sangat merepotkan dilakoni Bu Khairiyah. Bayangkan, dua anaknya belum terlihat tanda-tanda kesembuhan, bayi ketiga pun ikut menyita perhatian sang ibu.
Tapi, kerepotan itu masih terus tertutupi oleh harapan Bu Khairiyah dengan hadirnya penghibur Fahri yang mulai berusia satu bulan.
Sayangnya, Allah berkehendak lain. Apa yang diangankan Bu Khairiyah sama sekali tidak cocok dengan apa yang Allah inginkan. Fahri, menghidap penyakit yang mirip kakak-kakaknya. Ia seperti menderita kelumpuhan.
Jadilah, tiga bayi yang tidak berdaya menutup seluruh celah waktu dan biaya Bu Khairiyah dan suami. Hampir semua barang berharga ia jual untuk berobat. Mulai dokter, tukang urut, herbal, dan lain-lain. Tetap saja, perubahan belum nampak di anak-anak Bu Khairiyah.
Justru, perubahan muncul pada suami tercinta. Karena sering kerja lembur dan kurang istirahat, suami Bu Khairiyah tiba-tiba sakit berat. Perutnya buncit, dan hampir seluruh kulitnya berwarna kuning.
Hanya sekitar sepuluh jam dalam perawatan rumah sakit, sang suami meninggal dunia. September tahun 2001 itu, menjadi titik baru perjalanan Bu Khairiyah dengan cobaan baru yang lebih kompleks dari sebelumnya. Dan, tinggallah sang ibu menghadapi rumitnya kehidupan bersama tiga balita yang sakit, tetap tergolek, dan belum memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan.
Tiga bulan setelah kematian suami, Allah menguji Bu Khairiyah dengan sesuatu yang pernah ia alami sebelumnya. Fahri, si bungsu, ikut pergi untuk selamanya.
Kadang Bu Khairiyah tercenung dengan apa yang ia lalui. Ada sesuatu yang hampir tak pernah luput dari hidupnya, air mata.
Selama sembilan tahun mengarungi rumah tangga, air mata seperti tak pernah berhenti menitik di kedua kelopak mata ibu yang lulusan 'aliyah ini. Semakin banyak sanak kerabat berkunjung dengan maksud menyudahi tetesan air mata itu, kian banyak air matanya mengalir. Zikir dan istighfar terus terucap bersamaan tetesan air mata itu.
Bu Khairiyah berusaha untuk berdiri sendiri tanpa menanti belas kasihan tetangga dan sanak kerabat. Di sela-sela kesibukan mengurus dua anaknya yang masih tetap tergolek, ia berdagang makanan. Ada nasi uduk, pisang goreng, bakwan, dan lain-lain.
Pada bulan Juni 2002, Allah kembali memberikan cobaan yang mungkin menjadi klimaks dari cobaan-cobaan sebelumnya.
Pada tanggal 5 Juni 2002, Allah memanggil Nisa untuk meninggalkan dunia buat selamanya. Bu Khairiyah menangis. Keluarga besar pun berduka. Mereka mengurus dan mengantar Nisa pergi untuk selamanya.
Entah kenapa, hampir tak satu pun sanak keluarga Bu Khairiyah yang ingin kembali ke rumah masing-masing. Mereka seperti ingin menemani Khairiyah untuk hal lain yang belum mereka ketahui.
Benar saja, dua hari setelah kematian Nisa, Nida pun menyusul. Padahal, tenda dan bangku untuk sanak kerabat yang datang di kematian Nisa belum lagi dirapikan.
Inilah puncak dari ujian Allah yang dialami Bu Khairiyah sejak pernikahannya.
Satu per satu, orang-orang yang sebelumnya tak ada dalam hidupnya, pergi untuk selamanya. Orang-orang yang begitu ia cintai. Dan akhirnya menjadi orang-orang yang harus ia lupai.
Kalau hanya sekadar air mata yang ia perlihatkan, nilai cintanya kepada orang-orang yang pernah bersamanya seperti tak punya nilai apa-apa.
Hanya ada satu sikap yang ingin ia perlihatkan agar semuanya bisa bernilai tinggi. Yaitu, sabar. "Insya Allah, semua itu menjadi tabungan saya buat tiket ke surga," ucap Bu Khairiyah kepada Eramuslim. (mnh)
(Seperti dituturkan Bu Khairiyah, warga Setiabudi Jakarta, kepada Eramuslim
Selengkapnya...