Kamis, 26 Juli 2012

Memasak Dengan Limbah Tahu , Dringo,Bendung,Semin

Mereka memanfaatkan limbah tahu menjadi Biogas. Kemanapun bersembunyi di dalam rumah, Sumarni selalu terkepung bau tak sedap. Celakanya itu berlangsung hampir 24 jam selama bertahun-tahun. Bau tak sedap itu berasal dari limbah pembuatan tahu. Suami Sumarni, Amin Sugianto dan sembilan produsen lain di Dusun Dringo, Desa Bendung, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, memang membuat tahu setiap hari. Sehari menjelang hari pasaran, seorang produsen mengolah 50 kg kedelai; pada hari non pasaran, 5 kg. Dalam sepekan terdapat 2 hari pasaran. Nah, limbah pembuatan tahu itu mereka buang ke selokan selebar 100 cm dan kedalaman 1 meter. Wajar jika bau tak sedap terus menguar. Intensitas aroma tak sedap itu kian meningkat saat musim hujan. Biogas Menghadapi masalah itu warga tak berdaya. Mau protes juga tak mungkin. Sebab, para produsen itu masih kerabat atau tetangga dekat. Akhirnya selama bertahun-tahun mereka pasrah hingga pada 2007 Sumarni, Ketua UKM (Usaha Kecil Menengah) Sumber Mulyo, berembuk dengan warga lain untuk mengatasi persoalan itu. Mereka mengajukan proposal ke Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Yogyakarta. Hasilnya adalah pemanfaatan limbah tahu itu menjadi biogas. Akhirnya, pada Oktober 2010 masyarakat Dringo dan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Yogyakarta didampingi lembaga Sanimas (Sanitasi Berbasis Masyarakat) bergotong-royong membangun instalasi biogas. Pembuatan instalasi itu membutuhkan waktu tiga bulan, sedangkan gas muncul tujuh bulan pasca pembangunan. Pembangunan instalasi biogas itu berefek ganda, yakni mengatasi persoalan limbah cair tahu sekaligus memenuhi kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Limbah cair tahu mengandung bahan organik. Bakteri metanogen mengubah bahan organik itu menjadi biogas dalam fermentasi. Imam Sadzali dari Departemen Fisika Universitas Indonesia menyebutkan 100 kg kedelai menghasilkan 1,5 m³ atau 1.500 liter biogas. Jika dalam sehari perajin memproduksi tahu dari 50 kg kedelai, limbahnya menghasilkan 0,75 m³ atau 750 liter biogas. Energi biogas tergantung dari konsentrasi gas metana (CH₄). Semakin tinggi konsentrasi metana, kian besar energi. Menurut Periset di Pusat Penelitian Listrik dan Mekatronika LIPI, Bandung, Jawa Barat, Yaya Sudrajat, biogas tersusun oleh komponen seperti 40 % metana, 38 % karbondioksida, air dan sejumlah kecil gas lain seperti hidrogen sulfida. Namun, perombakan limbah tahu menjadi biogas lebih lama dibandingkan bahan lain seperti kotoran sapi. Sebab, populasi bakteri dalam limbah tahu lebih rendah. “Di tempat panas perlu sebulan untuk menghasilkan biogas dari limbah tahu”, kata Yaya. Apalagi di daerah dingin, tentu perlu waktu lebih lama. Untuk mengatasinya, Yaya menyarankan untuk menambhakan sepertiga bagian kotoran sapi sebagai pemancing. Maklum, kotoran sapi secara alami mengandung bakteri metanogen dari lambung rumen sapi. Menurut Yaya, setiap 1 m³ atau 1.000 l limbah tahu menghasilkan 1,3 m³ gas metana. Batu granit Kini setelah limbah tahu termanfaatkan menjadi biogas, aroma tak sedap pun hilang. Warga Desa Bendung menggunakan biogas limbah tahu untuk memasak. Sugianti, warga desa itu, menyalurkan limbah tahu cair ke instalasi biogas yang terpisah dari saluran limbah lain, terutama saluran limbah domestik yang kerap mengandung sabun atau detergen. Detergen atau sabun dapat membunuh bakteri metanogen sehingga mengganggu produksi biogas. Instalasi utama biogas terdiri dari bak kontrol, bak inlet, digester, bak pengendap, baffled reflector,dan filter anaerobik. Digester berbentuk kubah berdinding bata berdiameter 6 m dengan ketinggian 10 m. Kubah itulah “pabrik” biogas, tempat penguraian limbah cair menjadi metana. Untuk menghemat tempat dan melancarkan aliran limbah cair, kubah itu dibangun dibawah tanah. Di puncak kubah, terdapat lubang berdiameter 1 m sekaligus tempat kran pengatur dan pipa distribusi untuk mengalirkan gas ke rumah warga. Kran dan pipa pengatur ditutup buis beton yang biasa digunakan untuk gorong-gorong. “Supaya gas tidak bocor sekaligus melindungi kran dan pipa distribusi”, ujar Amin Sugianto, yang terlibat langsung saat pembangunan instalasi biogas. Digester berisi batu granit yang tersusun vertikal ditopang dinding penyekat berbahan beton cor berongga untuk pemasukan air. Batu granit berfungsi sebagai penyerap gas hidrogen sulfida penyebab bau sekaligus penjernih air sebelum dialirkan keluar. Menurut Satriyo Krido Wahono, ST., peneliti biogas di Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI, Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, kelebihan batu granit adalah memiliki porositas yang tinggi sehingga dapat menyerap kotoran di air limbah. Pemanasan global Selain itu menurut Satriyo granit kemungkinan juga berfungsi untuk menambah atau mempercepat aerasi, walaupun sebenarnya fermentasi anaerobik di dalam digester sudah memiliki kemampuan untuk menaikkan Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan menurunkan Chemical Oxygen Demand (COD) sehingga tidak berbahaya lagi bagi lingkungan. Sebelum air limbah tahu mengalir keluar filter anaerobik, air mengendap sehingga komponen padat terpisah, lalu tersaring baffled reflector. Kedua penyaring itu-filter anaerobik dan baffled reflector-berfungsi menangkap bakteri dan sisa bahan organik agar tidak terbawa keluar. Hasilnya, air yang mengalir keluar bersih sehingga bisa mengairi sawah dan ladang. Toh, keduanya bukan harga mati. Di desa itu ada 2 instalasi biogas, salah satunya tanpa bak pengendap, baffled reflector dan filter anaerobik. Hasilnya air buangan relatif bersih sehingga dapat langsung mengairi lahan pertanian. Untuk menggunakan biogas, calon konsumen cukup memasang pipa untuk mengalirkan gas ke kompor. Hingga sekarang ada 50 kepala keluarga yang menggunakan biogas limbah tahu di Desa Bendung. Setiap kepala keluarga pengguna biogas limbah tahu membayar iuran Rp. 500 per hari alias Rp.15.000 per bulan sebagai biaya perawatan. Menurut Sumarni, angka itu hanya seperempat biaya bahan bakar bulanan masyarakat yang biasanya menggunakan minyak tanah, kayu bakar, atau LPG. Selain murah, biogaspun lebih aman. Menurut Yaya Sudrajat, tekanan biogas hanya 0,2 atm-jauh lebih rendah ketimbang tekanan elpiji yang mencapai 5 atm. Risiko meledak pun amat kecil. Selain itu, gas metana itu sumber pemanasan global. Mengolah gas menjadi bahan bakar tentu menyumbang proporsi cukup banyak dalam mengurangi pencemaran udara. (Susirani Kusumaputri) Selengkapnya...