Senin, 28 Februari 2011

Islam Akan Jadi Agama Masyarakat AS

dakwatuna.com – New Jersey, Pakar sejarah Islam dan hubungan Islam-Nasrani dari Georgetown University, Yvonne Haddad, mengatakan peluang Islam menjadi agama masyarakat Amerika Serikat (AS) sangat terbuka. “Kelak Islam akan menjadi agama masyarakat AS,” ujar Haddad, saat berdiskusi bersama mahasiswa Princeton University, seperti dikutip New Jersey.com, Jumat (25/2).

Hadad optimistis Muslim akan menjadi bagian dari masyarakat AS. Menurut dia, tanda-tanda itu sudah terlihat jelas ketika masyarakat AS mulai menerima eksistensi umat Islam. Dia pun melihat titik balik penerimaan Islam di AS tidak terlepas dari tragedi 11 September 2001. Menurut dia, titik balik itu yang mempersatukan umat Islam dengan AS.

Haded menjelaskan, setelah tragedi 11 September, masjid dari berbagai negara bagian di AS mulai memprioritaskan pemberian pengetahuan tentang Muslim kepada remaja AS. Langkah itu dilakukan guna memperjelas identitas mereka sebagai Muslim dan warga negara AS. Lebih lanjut Haded mengatakan melalui kebijakan itu pula terjalin komunikasi lintas kepercayaan. “Kami melihat dialog memiliki posisi yang sangat penting,” ungkap dia.

Menurut dia, dimasa lalu, umat Islam melihat masyarakat AS masih dilanda trauma berat hingga jalinan dialog tidak berjalan. Setelah itu, dengan berdirinya sejumlah Islamic Center atau masjid, Muslim AS mempunyai cara istimewa untuk merangkul masyarakat AS dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk datang dan melihat secara langsung Islam dengan lebih dekat.

Ke depan, Hadad meramalkan integrasinya umat Islam dengan AS akan berlangsung mulus ketika lahirnya generas-generasi baru. Melalui generasi baru itu, umat Islam AS akan memperlihatkan eksistensinya sebagai bagian dari bangsa AS melalui rangkaian partisipasi dan pandangan dalam dialog AS secara luas.

“Kalau digambarkan saat itu, AS telah menjadi contoh pluralisme dimana Islam akan menjadi bagian dari pihak yang memperjuangkan pluralism. Dalam Quran dikatakan Tuhan menciptakan perbedaan dalam masyarakat. Perbedaan itu merupakan ensensi dari ajaran Islam,” pungkasnya.
Selengkapnya...

Jumat, 11 Februari 2011

Goresan Iman

Suatu ketika datanglah para shahabat menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana yang diceritakan oleh Abu Hurairah radhiallahu anhu. Mereka mengeluhkan tentang was-wasah (bisikan) yang ada dalam hati mereka yang sangat tidak nyaman; “Di dalam hati kami ada hal-hal yang terlalu berat untuk diucapkan.”

Nabi menegaskan, “Kalian telah menjumpainya?" Mereka berkata, “Ya.”

Nabi bersabda, “Itu adalah kemurnian iman.” (HR. Muslim no. 188)

Hal yang serupa disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu; bahwa Nabi pernah ditanya tentang waswasah (bisikan tidak baik dalam hati). Nabi menjawab, “Itu adalah kemurnian iman.”

Untuk bisa memahami jawaban Nabi di atas, mari kita dengarkan penjelasan Imam an-Nawawi,
“Yaitu: rasa berat hati kalian terhadap bisikan dalam hati adalah merupakan kemurnian iman. Karena rasa berat hati dan takut terhadap bisikan tersebut juga rasa takut untuk mengucapkannya apalagi meyakininya, adalah merupakan rasa yang hadir dari orang yang telah sempurna imannya dan telah hilang segala bentuk keraguan.” (al-Minhaj, 2/154, MS)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menambahi penjelasan, “Yaitu: terjadinya waswasah (bisikan) bersama dengan ketidaksukaan yang luar biasa terhadapnya dan usaha mengusirnya dari hati adalah merupakan kermunian iman. Seperti seorang mujahid yang berhadapan dengan musuh, dia berusaha untuk melawannya hingga berhasil mengalahkannya. Ini merupakan jihad paling utama. Murninya iman seperti murninya susu. Iman menjadi murni ketika membenci bisikan-bisikan syetan dan menolaknya.” (Majmu’ al-Fatawa 7/282, MS)

Lebih jelas lagi Ibnu Taimiyyah menyampaikan, “Orang munafik dan kafir tidak menjumpai kebencian dengan keberadaan waswasah tersebut. Jika kekafiran itu kecil; yaitu berpaling dari ajaran Rasul dan tidak mau mengimaninya walaupun tidak mendustakannya, yang seperti ini keadaannya bisa jadi syetan tidak meniupkan waswasah baginya. Hal itu dikarenakan waswasah akan menghilangkan iman. Jika tidak ada iman, maka tidak perlu (syetan) mendatangkan waswasah. Jika kafirnya berat; yaitu mendustakan ajaran, yang seperti ini keadaannya maka kekafiran itu lebih berat dari waswasah. Dia sudah tidak mempunyai iman sama sekali yang digunakan untuk melawan was-wasah.” (az-Zuhdu wal Wara’ wal ‘Ibadah h. 195, MS)

Inilah penjelasan dari hadits di atas. Di mana hati orang beriman mempunyai kepekaan dan perlawanan. Kepekaan dari berbagai bisikan syetan dan ajakannya. Serta perlawanan terhadap bisikan dan ajakan menyesatkan tersebut.

Setiap orang beriman pasti merasakan hal tersebut. Bahkan itu menjadi tanda bahwa dia masih beriman. Jika hati tidak mempunyai kekuatan menolak bisikan dan ajakan keburukan, maka itu tanda hilangnya iman.

Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang sangat kita kenal tentang nahi mungkar. Jika tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang mukmin untuk menolak kemungkaran tersebut, tidak dengan tangan dan tidak pula dengan lisannya. Maka yang pasti masih tersisa adalah ketidaknyamanan menyaksikan kemungkaran itu masih menggumpal dalam hati orang beriman. Inilah yang oleh Nabi disebut sebagai iman terlemah dan tidak ada lagi iman di bawah itu. Artinya, jika berbagai kemungkaran dan dosa terpampang di depan mata, tetapi hati tidak terusik, maka sungguh sebuah kehilangan terbesar dengan sirnanya iman dari dalam hati. Ini merupakan alat ukur sederhana untuk mengukur setebal apa iman kita.

Jadi, hati ini akan merespon semua kejadian di luar sana. Jika ada kebaikan sedang mengibarkan bendera kemenangannya, hati merespon dengan bahagia. Jika ada kesalahan, carut marut dosa, mendung tebal kesedihan menutupi hampir seluruh ruang hati. Begitulah suasana hati orang beriman.

Adapun jika sebaliknya yang terjadi, maka innalillahi wa inna ilahi raji’un atas matinya keimanan.

Kalau diizinkan, penulis mengungkapkan dengan istilah: goresan iman. Iman yang menggoreskan rasa dan sangat bisa dirasakan goresannya. Atau iman yang terasa tergores-gores karena peristiwa di luar sana.

Penulis tidak mengklaim sama sekali tentang iman yang sempurna. Hanya penulis dan siapapun berharap dan berdoa agar diberikan iman yang sempurna.

Tulisan-tulisan ini merupakan respon jiwa, ungkapan hati terhadap berbagai peristiwa sepanjang Ramadhan 1431 H. Terlalu sayang dilewatkan tanpa pelajaran. Berharap bahwa ini merupakan bukti keimanan. Amin ya rabb...

Ar-raji ‘Afwa Rabbih
Abu Dihya
Selengkapnya...