Jumat, 26 November 2010

Melahirkan Generasi Pioner

Kota Madinah mulai berselimutkan malam. Lorong-lorong itu kini mulai sepi setelah seharian lelah beraktifitas. Suara binatang malam mulai nyaring terdengar seperti hendak menyambut malam yang telah lama mereka nantikan.

Rasa dingin mulai terasa menggigit dibalik pekatnya malam yang semakin lama semakin menyerupai tinta. Keletihan hari itu nampaknya benar-benar ingin segera mendapatkan haknya setelah seharian menunggu, karena kewajiaban juga telah menunggu keesokan harinya.

Ketika semua orang sudah dibuai mimpi di rumahnya masing-masing, ada seseorang berbadan tinggi tegap yang masih terjaga. Ia kelihatan menyusuri lorong-lorong kota karena diusik rasa tanggung jawabnya yang demikian besar. Sendirian ia menyusuri jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah yang semakin padat .
Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasang telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar atau tak dapat memicingkan matanya karena sakit atau yang merintih dalam penderitaan atau barangkali ada seorang pengelana yang sedang terlantar.

Orang yang sedang mengamati kondisi rakyat kota Madinah itu, tak lain adalah khalifah Umar bin Khaththab r.a.Karena letih, beliau menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil dan buruk. Dia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Kalau letih pada kedua kakinya sudah terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkahnya ke masjid, sebab ia merasa perjalanan malamnya hari ini sudah cukup dan waktu subuh mulai menjelang.

Tiba-tiba di saat ia duduk bertelekan pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka untuk dijual di pasar, pagi hari itu.

Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Nak, campur saja susu itu dengan air!” kata si ibu

“Tidak boleh bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab si gadis itu.

“Tetapi semua orang melaksanakan hal itu nak, campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukan hal itu.

“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb dari Amirul Mukminin pasti mengetahuinya!” jawab puterinya itu

Mendengar ucapan si gadis tadi, tertegunlahlah Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis yang menyesakan dadanya. Beliau amat kagum dengan keteguhan hati si gadis dalam menjaga imannya. Percakapan singkat itu amat membekas dalam hati beliau.

Umar bergegas pulang dan memerintahkan salah seorang pembantunya agar meneliti siapakah anak dan ibu tersebut, apakah dia masih gadis atau masih bersuami. Ternyata, si anak gadis itu masih belum bersuami dan hanya tinggal dengan ibunya.

Pagi harinya, Umar mengumpulkan anak-anaknya dan menayakan siapakah diantara mereka yang sudah siap menikah karena beliau akan mengajukan calon untuknya. Dan anaknya yang bernama Ashim ternyata menyanggupi keinginan ayahnya.

Singkat cerita, Umar bin Khathab r.a menikahkan putranya yang bernama ‘Ashim dengan gadis penjual susu itu. Nama gadis penjual susu itu adalah Ummu 'Imarah binti Sufyan bin Abdullah bin Rabi'ah Ats-Tsaqafi. Dari pernikahan mereka lahirlah anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan Ummu Ashim. Dan dari rahim Laila inilah lahir seorang adalah seorang khalifah yang adil lagi bijaksana persis seperti kakeknya, Umar bin Khatab. Anak itu adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan dari Bani Umayyah yang oleh para ulama disebut sebagai khalifah kelima dari Khulafaur Rasyidin karena jasa-jasa beliau menghidupkan sunnah ketika ia mulai meredup.

Kekuatan firasat Umar melihat kejadian yang mungkin dianggap biasa-biasa saja oleh manusia telah memberikan sumbangsih yang sangat luar biasa bagi sejarah umat islam. Beliau punya saham yang besar dalam proses kelahiran seorang pemimpin yang kelak akan memenuhi dunia dengan keadilan.

Agar lahir dari umat ini generasi yang benar-benar unggulan haruslah dimulai dari memilih seorang ibu yang baik bagi anak-anak. Demikianlah keyakinan Umar ketika menikahkan Ashim dengan gadis penjual susu tersebut. Dan Umar sangat percaya dengan firasatnya. Kata ‘Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”. Dan keyakinan itu telah mendapatkan buktinya.

Bila seorang muslim punya pendirian seperti itu, cukuplah itu sebagai jaminan bahwa tingkat muroqobatullahnya telah sangat mapan dan cukuplah itu sebagai pengawal hidupnya. Firasat Umar sangat tepat. Hanya karena si gadis tidak mau mencampur air susu dengan air karena takut Allah, Umar menyakini akan lahir dari rahimnya seseorang yang punya kualitas unggulan.

Bukankah Nabi telah bersabda : ” Pilihlah wanita berdasarkan agamanya, maka selamatlah dirimu.”***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar